NAMA :
YUNI YUNIASARI
NIM : 1152100078
KELAS :
PIAUD/B/IV
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
KOMUNIKASI
SENI
A. Estetika menuju komunikasi seni
Plotinus (205-270), pendiri ajaran neoplatonisme.
Pendapatnya tentang keindahan dikumpulkan oleh muridnya Porfirius dalam Enneadeis
yang terdiri dari enam buku dan berisi sembilan bab. Dengan ajaran dalam
buku itu, Plotinus dikenal sebagai peletak pertama emanasi (pengaliran).
Emanasi merupakan pandangan bahwa semua hal dari Yang Esa dan akan kembali semuanya
kepada Yang Maha Esa pula. Melalui emanasi, Plotinus berbicara tentang
keindahan, bahwa keindahan yang didapat seseorang dalam kenyataan duniawi
dipertanyakan oleh seseorang tersebut sumber kehadirannya. Setelah pengalaman
keindahan itu didapat, Plotinus menolak pandangan Stoa yang simetris dan
menganggap tidak perlu serta tidak memadai. Yang membuat indah baginya bukan
warna, nada, atau suatu bentuk yang homogen. Baginya, pengalaman akan keindahan
justru terbentuk dari adanya persatuan antara pelbagai bagian yang berbeda satu
sama lain. Persatuan itu terjadi jika ada heterogenitas bukan homogenitas.
Keindahan terjadi jika sesuatu mendekati Yang Esa sebagai sumber dan tujuan
segala-galanya dan ikut ambil bagian di dalamnya, maka semakin indahlah sesuatu
itu. ”Keindahan sekali-kali sirna dari perkembangan dunia dan pengalaman manusia”,
ungkap Monroe C. Beardsley sebagai beauty enthrones itself. Pengalaman
estetis dapat menentramkan dan menggembirakan manusia, karena manusia di
dalamnya mengalami komunikasi yang akrab dan hangat antara dirinya dengan
sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat dan memanggil
dia kepada-Nya. Dengan demikian, garis besar pemikiran Plotinus tentang
keindahan menempatkan pengalaman estetis manusia lebih dekat dengan pengalaman
religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman
religius yang disebut juga pengalaman mistik. Inilah Emanasi Plotinus
sebagai titik awal dan berakhir bukan pada karunia khusus, namun hanya merupakan
penyelesaian dari yang awal. Dalam seni pertunjukan dapat diyakinkan sangat
sedikit yang mecapai pengalaman titik akhir tersebut karena terhambat oleh hyle
(materi) dan kurang mengendalikan diri dalam askesis (latihan).
Pandangan Plotinus diikuti oleh Agustinus (353 - 430) yang
menitikberatkan kasatuan sebagai sumber atau dasar keindahan. Kekhasan
Agustinus memandang keindahan bahwa, ”pengamatan mengenai keindahan
mengandaikan dan memuat suatu penilaian”. Sesuatu dikatakan indah melalui
pengamatan yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada di dalamnya sebagai suatu
keteraturan. Demikian sebaliknya, sesuatu dikatakan jelek jika di dalamnya
berupa ketidakteraturan. Agar kita mampu mengamati kedua-duanya, kita
memerlukan idea tentang ”keteraturan ideal” yang hanya kita terima lewat terang
illahi (divina iluminatio). Di sinilah, Agustinus memberikan istilah Iluminisme
sebagai kerangka estetis, dimana keindahan yang dibuat manusia tidak seindah
hadirnya keindahan dari Yang Maha Indah. Terakhir adalah Thomas Aquinas (1225
-1274) yang mengatakan tentang keindahan dapat disepakati sebagai pandangan
yang memiliki unsur-unsur kebaruan dan mempengaruhi pandangan estetis modern.
Rumusan Aquinas yang paling terkenal tentang keindahan, bahwa ”Keindahan
berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut sesuatu indah jika sesuatu itu
menyenangkan mata sang pengamat. Keindahan terjadi jika pengarahan si subjek
muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi terutama indera visual dan
auditif. Keindahan harus mencakup tiga
kualitas; integritas (kelengkapan), proporsi (keselarasan yang benar), dan
kecermelangan”.
Dari pandangan Aquinas tersebut
nampak bagaimana pengetahuan dan peranan subjek dalam hal keindahan begitu mencolok.
Demikian pula peranan objek keindahan yang dikenal dan dialami manusia sangat
mencolok. Peranan subjek dengan demikian lebih dititikberatkan pada pengetahuan
dan pengalaman inderawi sebagai bentuk komunikasi seutuhnya dalam komunikasi
intrapersonal
B. Latar belakang persepektif komunikasi seni
Estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang
terus berdebat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai
obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni yang tidak dalam
apresiasi maupun kritik seni. Dari tiga tema tersebut terdapat benang merah
pada bentuk keindahan seni sebagai hasil kreativitas yang harus
dikomunikasikan, baik dalam proses penciptaan maupun pergelaran karya seni.
Dari sisi ini kita melihat bahwa aspek komunikasi dalam seni (seni pertunjukan)
amat sangat penting sebagai bentuk penyampaian maksud, tujuan, makna atau pesan
dari pertunjukan tersebut. Bobot seni akan dapat kita rasakan dan kita nilai
dari aspek komunikasinya. Pesan-pesan atas seni pertunjukan yang dipergelarkan
akan efektif dapat berkomunikasi dengan masyarakatnya apabila disampaikan
dengan cara berkomunikasi yang ”baik”. Melihat uraian tersebut, seni
pertunjukan merupakan media yang di dalamnya terdapat unsur instrinsik dan
ekstrinsik yang mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya. Unsur instrinsik
adalah suatu unsur komunikasi seni pertunjukan yang menyampaikan ”seni” itu
sendiri. Dalam kaitan ini, komunikasi seni pertunjukan akan menyampaikan
pengalaman estetis, menyampaikan pesan keindahan dari suatu pertunjukan seni,
baik melalui dialog, dramatik, musik, tarian maupun tata rupa. Sementara unsur
ekstrinsik adalah unsur komunikasi seni pertunjukan yang berkaitan dengan
konteks seni. Dalam kaitan ini, komunikasi seni pertunjukan akan menyampaikan
sesuatu yang diangkat oleh seni pertunjukan, baik dalam ranah psikologis,
politik, budaya, kehidupan sosial, dan lain-lain melalui elemen-elemen simbolis
yang ada dalam seni pertunjukan.
Komunikasi seni pertunjukan sering diidentifikasikan
sebagai bentuk komunikasi antara pelaku seni pertunjukan dan masyarakat
penikmatnya yang dimediasi oleh seni pertunjukan itu sendiri. Bentuk komunikasi
semacam ini bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi publik. Akan tetapi dalam
seni pertunjukan terdapat pula bentuk komunikasi intrapersonal, dimana bentuk
ini dapat dirujuk dari filsafat keindahan (estetika) yang dimulai dari filsafat
seni klasik sampai. Hegel dan Kant. Pandangan-pandangan filosofis yang mengarah
pada bentuk komunikasi intrapersonal tersebut bahwa pencipta seni manakala
inspirasi dari kenyataan (kehidupan) telah mengalami pengendapan dan
pengheningan lalu diekspresikan dalam karya seni. Dalam peroses pengendapan dan
pengheningan ini, seniman melakukan bentuk komunikasi intrapersonal.
C. Seni dalam persepektif filsafat ilmu komunikasi
Filsafat ilmu secara umum merupakan
telaah filsafat dalam menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Untuk
membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya,
maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
1.
Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)
Secara ontologis, pengalaman manusia merupakan segenap wujud yang
dapat dijangkau lewat pancaindera atau alat yang membantu kemampuan panca
indera. Didasarkan pada landasan ontologis maka obyek yang ditelaah dalam
komunikasi seni pertunjukan adalah seni pertunjukan sebagai bentuk kreativitas
manusia yang dilandasi dengan pengalaman estetis mereka. Pengalaman estetis ini
tidak dapat dipukul rata karena setiap manusia memiliki budaya yang berbeda.
Budaya yang tumbuh dalam sub-kultur atau entitas-entitas yang menjadi pembeda
bentuk seni yang dihasilkannya akan tumbuh melalui komunikasi Untuk itulah,
komunikasi dalam seni pertunjukan akan dapat eksis karena budaya-budaya yang
ada pada subkultur atau entitas itu.
Ontologi atau metafisika umum adalah cabang filsafat ilmu yang mempelajari
hakikat sesuatu (obyek) yang dipelajari ilmu tertentu. Cabang ini dijalankan
untuk menghasilkan definisi, ruang lingkup, dan teori-teori tentang ilmu yang
bersangkutan. Ontologi mempelajari hal-hal yang abstrak yang berkaitan dengan
realitas (materi) yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan sebagai obyek. Terkait
dengan hal itu, komunikasi seni pertunjukan merupakan realitas abstrak yang
dapat ditelaah dengan metode-metode tertentu. Komunikasi seni pertunjukan dapat
berupa objek dari pengalaman inderawi manusia. Dalam istilah seni, hal demikian
disebut sebagai pengalaman estetis. Dengan demikian, komunikasi seni
pertunjukan adalah suatu pengetahuan yang dipelajari sebagai sebuah ilmu
pengetahuan. Hal-hal yang tercakup dalam komunikasi seni pertunjukan sebagai
ilmu pengetahuan antara lain adanya pesan-pesan (messages) antara
manusia dengan seni pertunjukannya yang bersifat transmisional, transaksional,
dan interaksional. Dalam konteks ontologis dibangun definisi kerja tentang
komunikasi seni pertunjukan. Dari definisi ini pula yang sekaligus mempertegas
batas-batas pembeda ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, dalam
konteks peristiwa pertunjukan di mana suatu bentuk pertunjukan berhubungan
dengan pesan yang dimaknai melaui media seni pertunjukan. Dalam komunikasi seni
pertunjukan berkaitan pula dengan komunikasi yang bersifat transendental dengan
tuhan dalam bentuk pertunjukan ritual.
Pesan-pesan manusia sebagai realitas dalam seni pertunjukan dapat
dikenali menurut sifat-sifatnya. Salah satu sifat yang utama adalah realitas
itu dapat dicerap oleh panca indera manusia (Onong 1993: 323). Dalam realitas
ini, komunikasi dapat menjelaskan realitas komunikasi yang dapat dikonsepsi
menjadi suatu teori tentang komunikasi atas berbagai fenomena, termasuk pula
pada fenomena seni pertunjukan (Nina Winangsih Syam, 2002).
2.
Bagaimana caranya untuk mendapakan pengetahuan tersebut
(epistemologi)
Secara epistemologis, komunikasi seni pertunjukan merupakan proses komunikasi
yang terjadi dalam seni pertunjukan. Untuk itu, langkah bagaimana prosedur
terjadinya komunikasi dalam seni pertunjukan, hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar tentang komunikasi di dalam seni
pertunjukan sebagai suatu kebenaran pengetahuan yang menjadi kekuatan daya
hidup seni. Penyelidikan asal, sifat, metode, dan gagasan pengetahuan manusia sangat
penting u tuk dilakukan.
Komunikasi seni pertunjukan sebagai realitas merupakan pengetahuan.
Disebut pengetahuan karena diperoleh dari kegiatan mental manusia (kesadaran) berpikir
dan berkontemplasi tentang realitas itu yang diwujudkan dalam bentuk seni
pertunjukan. Agar dapat disebut sebagai pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan),
maka realitas sebagai pengetahuan harus disusun secara benar menurut metode
tertentu. Intinya, cabang kedua filsafat ilmu ini memungkinkan pengetahuan
manusia menyangkut realitas komunikasi seni pertunjukan dapat dipelajari
sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Kenyataan itu terjadi pada ilmu komunikasi
sendiri yang telah mengembangkan berbagai model dan metode, sekalipun diakui
belum ada teori umum (grand theory) yang dapat menjadi payung terhadap
semua model dan motode dalam pendekatan komunikasi (Nina Winangsih Syam, 2002:
6).
3.
Apa kegunaan dari pengetahuan yang dimaksud (aksiologi).
Secara aksiologis, komunikasi seni pertunjukan merupakan interaksi
nilai-nilai dalam segenap wujud pengetahuan secara moral yang ditujukan untuk kebaikan
hidup manusia. Landasan ini memberikan kita pada pemahaman nilai guna seni. Melalui
komunikasi seni pertunjukan, fungsi-fungsi, nilai-nilai dan makna seni
diberdayakan sebagai suatu keberfungsian seni dalam masyarakat, baik sebagai
hiburan, ajaran moral dan agama, pewarisan budaya, politik dan ekonomi.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi, kenyataan adanya komunikasi
seni pertunjukan dapat disaksikan dalam beberapa peristiwa pertunjukan. Kita mengetahui
peristiwa di Maluku, ketika Presiden SBY akan memberikan sambutan dalam suatu
perayaan di daerah tersebut. Tiba-tiba melalui seni pertunjukan tari Cakalele,
bendera RMS dikibarkan, dan mendadak para pengawal dan polisi mengamankan para
penari tersebut. Peristiwa itu tidak semata-mata peristiwa seni pertunjukan,
namun bagaimana dengan seni pertunjukan mereka berkomunikasi dengan seorang
kepala negara dan rakyat Indonesia. Melalui perspektif komunikasi, seni
pertunjukan memiliki nilai bagi para pelakunya. Melalui komunikasi seni
pertunjukan, ideologi mereka dibentangkan lewat tarian Cakalele.
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam komunikasi seni
pertunjukan merupakan aspek kajian yang penting sebagai bagian dari cara
pandang filsafat ilmu. Penyatuan antara aspek kajian dan komponen piker tersebut
melahirkan ethos, pathos, dan logos sebagaimana pemikiran
Aristoteles yang menjadi sumbu pemikiran filosofis. Ethos mengajarkan
para ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu
yang merupakan kunci utama bagi hubungan antara produk ilmu dan masyarakat pengguna.
Pathos merupakan komponen yang menyangkut masalah afeksi atau emosi atau
rasa yang ada dalam diri manusia sebagai mahluk yang selalu mencintai keindahan
dan penghargaan, sehingga tidak menjadi mahluk yang kaku dan monoton. Sementara
logos merupakan komponen yang membimbing ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan
yang didasarkan atas pemikiran yang bersifat nalar dan rasional (Nina W. Syam,
2002: 22).
Daftar
pustaka :
Sutrisno,
F.X. Mudji. 1994. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius
Syam,
Nina Winangsih. 2002. Rekonstruksi ilmu komunikasi Perspektif pohon
Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan dalam Era
Globalisasi. Bandung: Universitas padjadjaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar