Minggu, 16 April 2017

KOMUNIKASI SENI

NAMA           :   YUNI YUNIASARI
NIM                :   1152100078
KELAS          :   PIAUD/B/IV
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

KOMUNIKASI SENI
A.    Estetika menuju komunikasi seni
Plotinus (205-270), pendiri ajaran neoplatonisme. Pendapatnya tentang keindahan dikumpulkan oleh muridnya Porfirius dalam Enneadeis yang terdiri dari enam buku dan berisi sembilan bab. Dengan ajaran dalam buku itu, Plotinus dikenal sebagai peletak pertama emanasi (pengaliran). Emanasi merupakan pandangan bahwa semua hal dari Yang Esa dan akan kembali semuanya kepada Yang Maha Esa pula. Melalui emanasi, Plotinus berbicara tentang keindahan, bahwa keindahan yang didapat seseorang dalam kenyataan duniawi dipertanyakan oleh seseorang tersebut sumber kehadirannya. Setelah pengalaman keindahan itu didapat, Plotinus menolak pandangan Stoa yang simetris dan menganggap tidak perlu serta tidak memadai. Yang membuat indah baginya bukan warna, nada, atau suatu bentuk yang homogen. Baginya, pengalaman akan keindahan justru terbentuk dari adanya persatuan antara pelbagai bagian yang berbeda satu sama lain. Persatuan itu terjadi jika ada heterogenitas bukan homogenitas. Keindahan terjadi jika sesuatu mendekati Yang Esa sebagai sumber dan tujuan segala-galanya dan ikut ambil bagian di dalamnya, maka semakin indahlah sesuatu itu. ”Keindahan sekali-kali sirna dari perkembangan dunia dan pengalaman manusia”, ungkap Monroe C. Beardsley sebagai beauty enthrones itself. Pengalaman estetis dapat menentramkan dan menggembirakan manusia, karena manusia di dalamnya mengalami komunikasi yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat dan memanggil dia kepada-Nya. Dengan demikian, garis besar pemikiran Plotinus tentang keindahan menempatkan pengalaman estetis manusia lebih dekat dengan pengalaman religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman religius yang disebut juga pengalaman mistik. Inilah Emanasi Plotinus sebagai titik awal dan berakhir bukan pada karunia khusus, namun hanya merupakan penyelesaian dari yang awal. Dalam seni pertunjukan dapat diyakinkan sangat sedikit yang mecapai pengalaman titik akhir tersebut karena terhambat oleh hyle (materi) dan kurang mengendalikan diri dalam askesis (latihan).
Pandangan Plotinus diikuti oleh Agustinus (353 - 430) yang menitikberatkan kasatuan sebagai sumber atau dasar keindahan. Kekhasan Agustinus memandang keindahan bahwa, ”pengamatan mengenai keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian”. Sesuatu dikatakan indah melalui pengamatan yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada di dalamnya sebagai suatu keteraturan. Demikian sebaliknya, sesuatu dikatakan jelek jika di dalamnya berupa ketidakteraturan. Agar kita mampu mengamati kedua-duanya, kita memerlukan idea tentang ”keteraturan ideal” yang hanya kita terima lewat terang illahi (divina iluminatio). Di sinilah, Agustinus memberikan istilah Iluminisme sebagai kerangka estetis, dimana keindahan yang dibuat manusia tidak seindah hadirnya keindahan dari Yang Maha Indah. Terakhir adalah Thomas Aquinas (1225 -1274) yang mengatakan tentang keindahan dapat disepakati sebagai pandangan yang memiliki unsur-unsur kebaruan dan mempengaruhi pandangan estetis modern. Rumusan Aquinas yang paling terkenal tentang keindahan, bahwa ”Keindahan berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut sesuatu indah jika sesuatu itu menyenangkan mata sang pengamat. Keindahan terjadi jika pengarahan si subjek muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi terutama indera visual dan auditif.  Keindahan harus mencakup tiga kualitas; integritas (kelengkapan), proporsi (keselarasan yang benar), dan kecermelangan”.
Dari pandangan Aquinas tersebut nampak bagaimana pengetahuan dan peranan subjek dalam hal keindahan begitu mencolok. Demikian pula peranan objek keindahan yang dikenal dan dialami manusia sangat mencolok. Peranan subjek dengan demikian lebih dititikberatkan pada pengetahuan dan pengalaman inderawi sebagai bentuk komunikasi seutuhnya dalam komunikasi intrapersonal

B.     Latar belakang persepektif komunikasi seni
Estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus berdebat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni yang tidak dalam apresiasi maupun kritik seni. Dari tiga tema tersebut terdapat benang merah pada bentuk keindahan seni sebagai hasil kreativitas yang harus dikomunikasikan, baik dalam proses penciptaan maupun pergelaran karya seni. Dari sisi ini kita melihat bahwa aspek komunikasi dalam seni (seni pertunjukan) amat sangat penting sebagai bentuk penyampaian maksud, tujuan, makna atau pesan dari pertunjukan tersebut. Bobot seni akan dapat kita rasakan dan kita nilai dari aspek komunikasinya. Pesan-pesan atas seni pertunjukan yang dipergelarkan akan efektif dapat berkomunikasi dengan masyarakatnya apabila disampaikan dengan cara berkomunikasi yang ”baik”. Melihat uraian tersebut, seni pertunjukan merupakan media yang di dalamnya terdapat unsur instrinsik dan ekstrinsik yang mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya. Unsur instrinsik adalah suatu unsur komunikasi seni pertunjukan yang menyampaikan ”seni” itu sendiri. Dalam kaitan ini, komunikasi seni pertunjukan akan menyampaikan pengalaman estetis, menyampaikan pesan keindahan dari suatu pertunjukan seni, baik melalui dialog, dramatik, musik, tarian maupun tata rupa. Sementara unsur ekstrinsik adalah unsur komunikasi seni pertunjukan yang berkaitan dengan konteks seni. Dalam kaitan ini, komunikasi seni pertunjukan akan menyampaikan sesuatu yang diangkat oleh seni pertunjukan, baik dalam ranah psikologis, politik, budaya, kehidupan sosial, dan lain-lain melalui elemen-elemen simbolis yang ada dalam seni pertunjukan.
Komunikasi seni pertunjukan sering diidentifikasikan sebagai bentuk komunikasi antara pelaku seni pertunjukan dan masyarakat penikmatnya yang dimediasi oleh seni pertunjukan itu sendiri. Bentuk komunikasi semacam ini bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi publik. Akan tetapi dalam seni pertunjukan terdapat pula bentuk komunikasi intrapersonal, dimana bentuk ini dapat dirujuk dari filsafat keindahan (estetika) yang dimulai dari filsafat seni klasik sampai. Hegel dan Kant. Pandangan-pandangan filosofis yang mengarah pada bentuk komunikasi intrapersonal tersebut bahwa pencipta seni manakala inspirasi dari kenyataan (kehidupan) telah mengalami pengendapan dan pengheningan lalu diekspresikan dalam karya seni. Dalam peroses pengendapan dan pengheningan ini, seniman melakukan bentuk komunikasi intrapersonal.

C.    Seni dalam persepektif filsafat ilmu komunikasi
Filsafat ilmu secara umum merupakan telaah filsafat dalam menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah:
1.      Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)
Secara ontologis, pengalaman manusia merupakan segenap wujud yang dapat dijangkau lewat pancaindera atau alat yang membantu kemampuan panca indera. Didasarkan pada landasan ontologis maka obyek yang ditelaah dalam komunikasi seni pertunjukan adalah seni pertunjukan sebagai bentuk kreativitas manusia yang dilandasi dengan pengalaman estetis mereka. Pengalaman estetis ini tidak dapat dipukul rata karena setiap manusia memiliki budaya yang berbeda. Budaya yang tumbuh dalam sub-kultur atau entitas-entitas yang menjadi pembeda bentuk seni yang dihasilkannya akan tumbuh melalui komunikasi Untuk itulah, komunikasi dalam seni pertunjukan akan dapat eksis karena budaya-budaya yang ada pada subkultur atau entitas itu.
Ontologi atau metafisika umum adalah cabang filsafat ilmu yang mempelajari hakikat sesuatu (obyek) yang dipelajari ilmu tertentu. Cabang ini dijalankan untuk menghasilkan definisi, ruang lingkup, dan teori-teori tentang ilmu yang bersangkutan. Ontologi mempelajari hal-hal yang abstrak yang berkaitan dengan realitas (materi) yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan sebagai obyek. Terkait dengan hal itu, komunikasi seni pertunjukan merupakan realitas abstrak yang dapat ditelaah dengan metode-metode tertentu. Komunikasi seni pertunjukan dapat berupa objek dari pengalaman inderawi manusia. Dalam istilah seni, hal demikian disebut sebagai pengalaman estetis. Dengan demikian, komunikasi seni pertunjukan adalah suatu pengetahuan yang dipelajari sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Hal-hal yang tercakup dalam komunikasi seni pertunjukan sebagai ilmu pengetahuan antara lain adanya pesan-pesan (messages) antara manusia dengan seni pertunjukannya yang bersifat transmisional, transaksional, dan interaksional. Dalam konteks ontologis dibangun definisi kerja tentang komunikasi seni pertunjukan. Dari definisi ini pula yang sekaligus mempertegas batas-batas pembeda ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, dalam konteks peristiwa pertunjukan di mana suatu bentuk pertunjukan berhubungan dengan pesan yang dimaknai melaui media seni pertunjukan. Dalam komunikasi seni pertunjukan berkaitan pula dengan komunikasi yang bersifat transendental dengan tuhan dalam bentuk pertunjukan ritual.
Pesan-pesan manusia sebagai realitas dalam seni pertunjukan dapat dikenali menurut sifat-sifatnya. Salah satu sifat yang utama adalah realitas itu dapat dicerap oleh panca indera manusia (Onong 1993: 323). Dalam realitas ini, komunikasi dapat menjelaskan realitas komunikasi yang dapat dikonsepsi menjadi suatu teori tentang komunikasi atas berbagai fenomena, termasuk pula pada fenomena seni pertunjukan (Nina Winangsih Syam, 2002).

2.      Bagaimana caranya untuk mendapakan pengetahuan tersebut (epistemologi)
Secara epistemologis, komunikasi seni pertunjukan merupakan proses komunikasi yang terjadi dalam seni pertunjukan. Untuk itu, langkah bagaimana prosedur terjadinya komunikasi dalam seni pertunjukan, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar tentang komunikasi di dalam seni pertunjukan sebagai suatu kebenaran pengetahuan yang menjadi kekuatan daya hidup seni. Penyelidikan asal, sifat, metode, dan gagasan pengetahuan manusia sangat penting u tuk dilakukan.
Komunikasi seni pertunjukan sebagai realitas merupakan pengetahuan. Disebut pengetahuan karena diperoleh dari kegiatan mental manusia (kesadaran) berpikir dan berkontemplasi tentang realitas itu yang diwujudkan dalam bentuk seni pertunjukan. Agar dapat disebut sebagai pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan), maka realitas sebagai pengetahuan harus disusun secara benar menurut metode tertentu. Intinya, cabang kedua filsafat ilmu ini memungkinkan pengetahuan manusia menyangkut realitas komunikasi seni pertunjukan dapat dipelajari sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Kenyataan itu terjadi pada ilmu komunikasi sendiri yang telah mengembangkan berbagai model dan metode, sekalipun diakui belum ada teori umum (grand theory) yang dapat menjadi payung terhadap semua model dan motode dalam pendekatan komunikasi (Nina Winangsih Syam, 2002: 6).

3.      Apa kegunaan dari pengetahuan yang dimaksud (aksiologi).
Secara aksiologis, komunikasi seni pertunjukan merupakan interaksi nilai-nilai dalam segenap wujud pengetahuan secara moral yang ditujukan untuk kebaikan hidup manusia. Landasan ini memberikan kita pada pemahaman nilai guna seni. Melalui komunikasi seni pertunjukan, fungsi-fungsi, nilai-nilai dan makna seni diberdayakan sebagai suatu keberfungsian seni dalam masyarakat, baik sebagai hiburan, ajaran moral dan agama, pewarisan budaya, politik dan ekonomi.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi, kenyataan adanya komunikasi seni pertunjukan dapat disaksikan dalam beberapa peristiwa pertunjukan. Kita mengetahui peristiwa di Maluku, ketika Presiden SBY akan memberikan sambutan dalam suatu perayaan di daerah tersebut. Tiba-tiba melalui seni pertunjukan tari Cakalele, bendera RMS dikibarkan, dan mendadak para pengawal dan polisi mengamankan para penari tersebut. Peristiwa itu tidak semata-mata peristiwa seni pertunjukan, namun bagaimana dengan seni pertunjukan mereka berkomunikasi dengan seorang kepala negara dan rakyat Indonesia. Melalui perspektif komunikasi, seni pertunjukan memiliki nilai bagi para pelakunya. Melalui komunikasi seni pertunjukan, ideologi mereka dibentangkan lewat tarian Cakalele.
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam komunikasi seni pertunjukan merupakan aspek kajian yang penting sebagai bagian dari cara pandang filsafat ilmu. Penyatuan antara aspek kajian dan komponen piker tersebut melahirkan ethos, pathos, dan logos sebagaimana pemikiran Aristoteles yang menjadi sumbu pemikiran filosofis. Ethos mengajarkan para ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu yang merupakan kunci utama bagi hubungan antara produk ilmu dan masyarakat pengguna. Pathos merupakan komponen yang menyangkut masalah afeksi atau emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai mahluk yang selalu mencintai keindahan dan penghargaan, sehingga tidak menjadi mahluk yang kaku dan monoton. Sementara logos merupakan komponen yang membimbing ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan yang didasarkan atas pemikiran yang bersifat nalar dan rasional (Nina W. Syam, 2002: 22).


Daftar pustaka :
Sutrisno, F.X. Mudji. 1994. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius

Syam, Nina Winangsih. 2002. Rekonstruksi ilmu komunikasi Perspektif pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan dalam Era Globalisasi. Bandung: Universitas padjadjaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STRUKTUR SENI RUPA

NAMA           :   YUNI YUNIASARI NIM                :   1152100078 KELAS          :   PIAUD-B/IV UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNU...